GLobal Invest - Deputi Pengendalian Operasi Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi, Rudi Rubiandini, memastikan perhitungan pendapatan minyak mentah versi ekonom Kwik Kian Gie keliru.
"Kwik menghitung langsung pendapatan minyak mentah dikurangi pengeluaran untuk bahan bakar minyak sehingga timbul keuntungan Rp 98 triliun," ujar Rudi ketika dihubungi Tempo, Minggu 25 Maret 2012.
Padahal menghitung pendapatan dan pengeluaran sektor minyak dan gas tidak seperti menghitung kas biasa. Sebab, pendapatan migas masuk dalam anggaran negara yang pengeluarannya diatur pemerintah. Karena itu, pendapatan negara dari sektor migas tidak seluruhnya digelontorkan buat subsidi BBM, tapi juga untuk pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan pos-pos anggaran lain.
Rudi menambahkan, produksi minyak Indonesia saat ini 900 ribu barel per hari. Dari angka itu, negara hanya kebagian 600 ribu barel per hari, sedangkan konsumsi masyarakat 1,3 juta barel per hari.
Harga ekonomis BBM mencapai US$ 120 per barel, yang dihitung dari harga minyak mentah US$ 105 per barel ditambah biaya pengangkatan, pemurnian, dan transportasi US$ 15 per barel. Total penerimaan negara dari minyak mentah mencapai Rp 207 triliun ditambah penerimaan dari penjualan BBM ke masyarakat Rp 340 triliun menjadi Rp 547 triliun. Penerimaan ini dikurangi pengeluaran untuk subsidi BBM, seperti impor, pengolahan, distribusi, plus margin sebanyak Rp 512 triliun, sehingga diperoleh sisa pendapatan migas Rp 35 triliun.
"Rp 35 triliun itulah sumbangan sebenarnya industri minyak kepada APBN," kata Rudi.
Rudi berpendapat, seharusnya sumbangan dari minyak dapat diterima negara secara utuh sebanyak Rp 207 triliun, bukan cuma Rp 35 triliun. Itu lantaran selama ini Rp 178 triliun pendapatan minyak justru dihabiskan untuk subsidi.
Juru bicara Pertamina, Mochammad Harun, membenarkan, kalau dihitung secara mentah, memang masih terdapat sisa dari pendapatan minyak dan gas bumi. "Tapi apa mau pendapatan minyak sebagian besar dihabiskan hanya untuk subsidi," ujarnya. Pertimbangan lainnya, jika subsidi tak dikurangi atau harga BBM tetap Rp 4.500 per liter, konsumsi BBM bersubsidi dipastikan melonjak dari kuota 40 juta kiloliter menjadi 47 juta kiloliter.
Menteri Koordinator Perekonomian periode 1999-2000, Kwik Kian Gie, beberapa kali menyatakan alasan pemerintah menaikkan harga jual BBM untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak tepat. Menurut hitungan Kwik, pemerintah sebenarnya memiliki uang dari penjualan BBM untuk menambal subsidi. "Tapi ini tidak pernah dibuka, dan disimpan dalam rekening APBN di pos Menteri Keuangan," katanya.
Berdasarkan analisis Kwik, Pertamina mendapatkan hasil penjualan 53 miliar liter BBM dengan harga Rp 4.500 per liter sebanyak Rp 283,5 triliun. Adapun pengeluaran Pertamina hanya Rp 410,09 triliun, yang berasal dari biaya impor Rp 149,8 triliun, pembelian dari pemerintah Rp 224,54 triliun, serta biaya lifting, refining, dan transportasi Rp 35,65 triliun. Artinya, kekurangan uang Pertamina hanya Rp 126,59 triliun. Kekurangan inilah yang sering dinyatakan sebagai subsidi. Angka subsidi ini lebih kecil daripada perkiraan pemerintah. (tamy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar